Gay semasa Smp
Namaku Versus. Aku adalah seorang gay 100% alias sama sekali tidak bisa ereksi kalau sama wanita. Ketika aku masih TK, salah seorang sepupuku, yang umurnya jauh lebih tua dariku, pernah beberapa kali memerkosaku. Aku disuruh mengisap kontolnya. Kala itu aku masih seorang bocah polos yang belum mengerti apa-apa tentang seks. Aku belum cukup dewasa untuk bisa memilih dengan logika mana yang boleh dan mana yang tidak. Apalagi sepupuku mengancam agar jangan memberitahukan hal itu kepada siapa-siapa. Hal itu berlangsung selama beberapa tahun sampai suatu hari ayahku memergokinya, dan sepupuku langsung kabur entah kemana. Tapi nasi sudah menjadi bubur karena aku sudah terlanjur terbiasa mengisap kontol. Sejak peristiwa itu, aku cenderung mejadi seorang anak yang pendiam. Pergaulanku sangat kaku bahkan dengan teman- teman SD sekalipun. Pada masa SD pun aku harus harus mengalami lagi peristiwa seperti itu. Sebenarnya perlahan-lahan aku mulai melupakan semua yang pernah terjadi. Apalagi setelah itu ayahku mendidikku dengan sangat keras agar aku tidak menjadi seorang banci. Sudah menjadi kewajaran biogis bahwa pada akhirnya seseorang harus memasuki masa pubertas. Ketika aku memasuki tahun terakhir di SMP, aku telah berubah menjadi seorang remaja. Jambut dan kumis tipisku sudah tumbuh, suara sudah mulai berubah seiring dengan membesarnya jakun di leherku. Seperti umumnya remaja sebaya, aku mulai berorientasi dengan dunia seks. Sayangnya, setiap kali melihat teman wanita, aku tidak punya perasaan apa- apa. Sebaliknya, hatiku sering deg-degan kalau melihat laki-laki yang ganteng. Aku mulai masturbasi dan menghayalkan tubuh dan kontol indah yang dimiliki teman-temanku. Tapi sampai saat itu tidak ada yang tahu karena aku bergaul dengan mereka secara wajar. Dari berbagai buku yang ku baca akhirnya aku mengetahui bahwa aku adalah seorang gay. Bayang-bayang masa lalu yang ku kira sudah lama hilang dari pikiranku, ternyata telah menjadi trauma yang tidak bisa terhapus dari alam bawah sadarku. Sehingga pada saat mulai puber, hal itu muncul kembali ke permukaan. Saat aku kelas 3 SMP, yang namanya AIDS belum begitu terkenal karena waktu itu baru tahun 1986. Tapi karena aku rajin mengikuti perkembangan berita, aku telah mengenal bahaya HIV dan AIDS, yang kala itu masih dikenal sebagai penyakitnya kaum gay. Oleh sebab itu aku tidak mau berhubungan seks dengan orang lain sekalipun terkadang hasratku tidak mampu terbendung sukma. Mungkin aku agak berlebihan, karena yang pasti di daerahku (waktu itu aku belum tinggal di Jakarta) mungkin sama sekali belum ada penyebaran virus mematikan tersebut pada saat itu. Menjelang ujian Ebtanas SMP, akhirnya pertahananku bobol juga. Cerita, ada seorang teman sekelasku yang rumahnya jauh di luar kota, meminta agar ia bisa tinggal di rumahku sementara waktu sampai akhir ujian. Aku tidak menolak karena di samping ia adalah seorang juara kelas sehingga akan sangat membantuku untuk belajar bersama, juga karena wajahnya mungkin yang paling tampan di sekolahku dan tubuhnya sangat atletis. Orangtuaku setuju saja karena mereka menganggap kehadiran Franky, demikian namanya, akan sangat membantuku dalam persiapan menghadapi Ebtanas nanti. Di rumah, Franky tidur sekamar denganku. Mula- mula aku sangat gelisah karena aku kuatir tidak bisa menahan diri. Apalagi Franky punya kebiasaan tidur hanya memakai CD- nya yang rata-rata berukuran minim. Kalau ia sudah terlelap, aku sering pindah ke sofa dan tidur di situ. Kalau pagi tiba, orangtuaku membangunkanku di sofa tapi mereka hanya mengira bahwa aku tertidur di sofa karena belajar sampai tengah malam. Memang sengaja ku letakkan sebuah buku pelajaran dan keadaan terbuka di meja agar mereka mendapatkan kesan seperti itu dan tidak curiga. Pada hari ketiga Franky di rumahku, aku baru saja bersiap-siap untuk pindah ke sofa setelah yakin bahwa dia sudah terlelap. Baru saja aku hendak turun dari ranjang, tiba-tiba saja tangan Franky menahan gerakanku. “Eh… tungu dulu. Mau pindah ke sofa lagi, ya? Ada apa sih sebenarnya dengan kamu? Kalau kamu memang merasa terganggu dengan kehadiranku di sini, bilang saja terus terang dan aku akan pulang. Jangan begitu, dong… nanti aku malu sama orangtuamu!”, kilah Franky, yang ternyata pura-pura terlelap karena mungkin sudah dua malam ia terjaga dan tidak menemukanku di sampingnya, malah melihat aku sedang bermimpi di atas sofa. “Maaf Frank, bukan begitu maksudku. Aku biasanya tidur tidak tenang dan selalu menyikut atau menendang. Aku kuatir kalau kamu nanti bisa terjaga karenanya.”, ujarku memberi alasan yang segera disanggah Franky. “Ah jangan bohong. Kalau kamu memang tidurnya seperti itu, pasti kamu sudah jatuh dari sofa yang sempit itu. Atau… kamu tersinggung karena aku tidak sopan tiduran hanya dengan CD? Kalau begitu, biar aku pakai saja pakaianku agar …..” “Oh, bukan begitu maksudku!”, potongku dengan cepat sambil menahan tangannya. “Hanya saja aku …” “… tidak tahan melihatku hanya memakai CD, kan?!”, kali ini Franky yang memotong ucapanku. Aku hanya tertunduk malu. Wajahku memerah seperti maling ketangkap basah. Aku tidak sanggup menatap wajahnya. Rasanya seperti mau mati saat itu. “Ver, mendekatlah ke sini”, Franky menarik aku mendekati tubuhnya. “Kamu tidak perlu pura- pura lagi. Aku tahu kok kalau kamu suka padaku. Kamu sendiri yang ceroboh. Buku diary hanya kamu lepas begitu saja di atas meja belajar itu. Aku sudah baca semuanya, terutama apa yang kamu tulis tentang aku”. Aku terperanjat seperti orang yang tersambar geledek. Ingin aku berlari dari kamarku karena malu yang tak tertahankan lagi. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaanku. Franky yang hanya berbalut CD itu tiba- tiba merangkul tubuhku dan mencium keningku dengan mesra. Oh, my goodness… jantungku langsung berdebar-debar seperti mau copot saja. Aku baru saja mau mengucapkan sesuatu tapi Franky menaruh telunjuknya di bibirku, semacam kode kalau aku tidak perlu bicara apa-apa lagi. Kejadian selanjutnya sangat di luar dugaanku, karena aku tahu bahwa Franky bukan seorang gay, lagi pula ia punya pacar cewek yang sangat cantik di kelas 2 sekolah yang sama. Franky mempererat pelukannya dan menarik kepalaku mendekati wajahnya. Dengan lembut ia mencium bibirku. Mataku terpejam oleh kenikmatan, bukan hanya lahir, tapi juga bathin. Aku segera membalas kecupannya, kali ini lidahku mulai nakal bermain di mulutnya, tapi ternyata lidah Franky juga tidak hanya diam, maka terjadilah pergulatan lidah yang sangat alot. Dengan gesit Franky mengenyahkan CD yang masih membalut selangkangannya sampai ia bertelanjang bulat. Batang penisnya nan besar dan panjang itu sudah mengeras. Kepala helm-nya sudah mengembang bagai jamur payung di tepi hutan belantara hitam jambutnya. Tanpa menunggu komando, kepalaku segera meluncur ke bawah. Mula-mula di bagian dadanya. Ku mainkan lidahku di putingnya satu per satu, seperti adegan di film blue yang sering ku tonton sendirian. Franky mengerang menahan kenikmatan. Tampak benar bahwa selama ini ia belum pernah berhubungan seks dengan siapa pun, bahkan dengan wanita sekalipun. Entah dari mana datangnya kesan itu, tapi aku begitu yakin. Petualanganku diteruskan makin ke bawah. Ku jilati secara mendetail oto perutnya sampai ke arah pusar. Sementara tanganku mengelus pinggangnya dengan lembut yang membuat Franky menggeliat. Sekilas ku lihat ujung kontolnya mulai basah dengan precum dan aromanya mulai tercium oleh hidungku yang mancung, memancing kepalaku terus meluncur ke bawah. Akhirnya tibalah aku di bagian yang paling pribadi di tubuhnya. Aku ketemu lagi dengan sahabat lamaku, kontol, hanya saja kali ini bukan punya sepupuku yang edan itu, melainkan milik orang yang paling ganteng dan seksi di sekolahku. Pertama ku kecup ujung jamurnya, lalu perlahan-lahan kuputar- putarkan lidahku di sekeliling tepian jamur itu, membuat pemiliknya merintih lirih. Ketika ku mainkan ujung lidahku di lobangnya yang sempit, Franky tidak tahan lagi dan segera menarik kepalaku sehingga kontolnya bagai tertelan ke dalam kerongkonganku. “Ohhh, Ver… teruskan, sayang!”, ujarnya sampai menyodok-nyodok pangkal lidahku. Gerakan pinggulnya mulai menjadi cepat. Ku isap kontol itu dengan keras seperti sedang melepas rindu 1000 tahun. Nafas Franky mulai terengah-engah dan tubuhnya sudah bermandikan peluh. Tiba- tiba saja pinggulnya mengeras, gerakannya terhenti dengan posisi kontolnya menyusup dalam-dalam ke kerongkonganku dan…. “Aaaaaaahhhhhhhhhggggg.. …..”, teriak kecil Franky ketika pada saat yang bersamaan ku rasa ada semacam semprotan cairan kental di kerongkonganku. Pejunya yang hangat itu segera mengalir ke dalam dan aku menghabiskannya sampai tetesan terakhir. Saking asyik dan lelahnya, kami berdua pun tertidur tetap dalam posisi seperti itu. Tubuhnya yang telanjang menghadap ke kanan dan batang kontolnya tetap terbenam dalam mulutku sampai aku terlelap…